Penyakit dan Cacat Emosi

SAKIT CACAT EMOSI.jpg

Cacat Emosi

Ada kisah menarik buat saya yang disampaikan tamu saya kemarin siang, yaitu kisah orang-orang yang berjuang agar sembuh dari penyakitnya, termasuk terhindar dari cacat fisik.

Kisah seorang pemuda berusia 20 tahun yang pernah jatuh, lama tidak diperiksa karena merasa tidak ada masalah dengan fisiknya.

Sekian tahun kemudian baru diperiksakan ke dokter karena mengalami sakit di bagian pinggang dan punggung. Singkat cerita divonis mengalami cacat bagian syaraf.

Orang tuanya tentu kaget dengan vonis itu, lalu berusaha menyembuhkan anaknya dengan segala cara. Tapi kondisi anak muda ini tidak bisa normal seperti biasa, duduk diatas kursi roda.

Proses agar bisa berdiri dan berjalan dengan normal telah mengantarkan anak muda ini ke berbagai rumah sakit dalam dan luar negeri.

Point yang diceritakan tamu saya adalah "mahalnya biaya pengobatan tanpa asuransi" yang memang menghabiskan dana total milyaran rupiah (walau pun tidak mengubah keadaan).

Baca Juga: Doa Nabawi untuk Pelunasan Hutang

Namun saya justru menangkap "pesan" lain selain bersyukur atas nikmat sehat yang Allah berikan.

Bahwa orang tua cenderung berjuang menyembuhkan anaknya dari sakit dan cacat fisik, namun mengabaikan bila anaknya mengalami sakit dan cacat emosi.

Padahal, sakit atau cacat emosi  bisa membuat seseorang mengalami hambatan karir atau bisnis, ketidakharmonisan rumah tangga, bahkan lebih buruk lagi mewarisi sakit dan cacat emosi tersebut ke anak keturunannya.

Apakah mengurung anak di kamar mandi wajar? Bagi Anda yang memiliki emosi sehat, itu perbuatan keterlaluan.

Tapi bagi orang tua yang memiliki sakit atau cacat emosi, dianggap "proses mendisiplinkan anak".

Pun termasuk memukul anak, membentak, atau sekedar tidak siap dikritik anak. Orang tua seperti itu memiliki kebutuhan diakui dan dihargai secara berlebihan, akibat dari sakit atau cacat emosi sejak kecil.

Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang memiliki sakit atau cacat emosi, cenderung mengidap masalah yang sama.

Saya punya seorang teman yang baru menikah, istrinya mengeluh kebiasaan suami main games padahal kebutuhan finansial menjelang persalinan cukup besar.

Efeknya, istri terpaksa jualan online karena tidak berdaya akan kengototan suami main games daripada kerja.

Suami bukan tidak mau kerja, tapi milih-milih pekerjaan yang sesuai dengan mood-nya. Kemampuan adaptasinya rendah, cenderung nyaman kerja sendiri atau... Main games.

Atau ada kisah kakak ipar saya yang seorang guru di sekolah negeri bilangan Jakarta, tentang anak didiknya yang terpaksa dikeluarkan pihak sekolah karena membully temannya.

Ternyata perilaku negatif itu sudah sejak lama dan korban ini baru bercerita ke orang tua karena merasa tak tahan, setelah sekian lama menutup diri.

Perilaku anak yang membully dan korban sama-sama memiliki penyakit atau cacat emosi.

Mungkin ada yang tersinggung bila saya sebut korban juga memiliki sakit atau cacat emosi, tapi perhatikan saja pemaparan ini.

Baca Juga: Bahagia Itu Sederhana, Jangan Syaratkan Apapun

Orang yang membully selalu memilih korban yang "enak dibully" yaitu mereka yang tak mampu melindungi dirinya karena sifat tertutup.

Kenapa tertutup? Karena sudah terpola sejak kecil. Jadi ketidakmampuan berkomunikasi dengan sesama atau dengan orang tua adalah indikasi adanya penyakit atau cacat emosi berupa takut secara berlebihan untuk terbuka, buah dari pola pengasuhan orang tua.

Inilah dampak sakit atau cacat emosi yang tidak disembuhkan. Orang tua cenderung menganggap itu sebagai "karakter bawaan" sehingga pasrah. Padahal bisa diatasi melalui terapi.

Mungkin sebab utama kenapa orang tua kurang perhatian karena tidak mengenali hal itu sebagai penyakit atau cacat emosi, atau lebih fokus pada pertumbuhan fisik dan kemampuan hafalan.

Jadi melalui tulisan sederhana ini, saya ingin menyadarkan Anda semua tentang pentingnya kesehatan emosi keluarga.

Berlimpah itu selalu dimulai dari rasa syukur, yaitu sebuah perasaan bahagia tanpa batas. Bukan merasa kekurangan, pasrah

terhadap keadaan, apalagi membenci kehidupan.

Wallahu'alam - Salam Perjuangan Doa
Print Friendly and PDF

0 Response to "Penyakit dan Cacat Emosi"

Posting Komentar