Isra Mi'raj dari Perspektif Mistisisme Jawa

Isra Mi'raj dari Perspektif Mistisisme Jawa - Banyak yang bertanya kepada saya tentang makna sebenarnya dari Isra Mi'raj. Saya memahami alasan di balik pertanyaan ini, meskipun ajaran saya tidak terikat pada agama tertentu, dan saya tidak pernah mengklaim diri sebagai Ulama, Kyai, atau Mursyid. Namun, lebih dari 60% dari para pembelajar yang mengikuti pengajaran saya memiliki latar belakang Muslim. Mereka pasti penasaran dengan peristiwa mistik yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Besar, dan diyakini bahwa pada saat itulah turun perintah Shalat 5 Waktu, yang sering kali dijadikan penanda bagi orang yang benar-benar beriman dan taat.

Beberapa di antara mereka yang skeptis mulai mempertanyakan kebenaran peristiwa ini: "Apakah benar ini terjadi?" "Jika benar, bagaimana rincian proses kejadiannya, dan apakah orang selain Nabi Muhammad dapat mengalaminya?" Artikel ini bertujuan memberikan perspektif pembanding berdasarkan pengalaman mistik pribadi saya yang berakar pada teori mistik Jawa. Pembaca akan membutuhkan kedewasaan spiritual untuk melewati hasrat konflik dan memasuki diskusi spiritual-intelektual yang terbuka. Namun, hal ini penting bagi siapa pun yang mencari kebenaran sejati.

Mari kita mulai dengan memahami apa yang dimaksud dengan Isra Mi'raj:

"Isra Mi'raj berasal dari bahasa Arab, biasanya ditulis sebagai al-Isra’ wal-Mi’raj (الإسراء والمعراج), terdiri dari dua kata, yaitu isra’ dan mi’raj. Keduanya memiliki arti berbeda. Kata isra’ berasal dari kata sara yang berarti ‘perjalanan malam’. Sementara itu, mi’raj dalam bahasa Arab berarti ‘kendaraan’, ‘alat untuk naik’, atau ‘tangga’. Bentuk jamaknya adalah ma’arij yang berarti ‘tempat-tempat naik’.

Menurut Abduh (1994) dalam ‘Hikmah Isra’ Mi’raj Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW’, isra’ menurut bahasa Arab diartikan sebagai perjalanan jauh di waktu malam dan selamat pulang kembali ke tempat semula. Sementara menurut istilah, isra’ diartikan sebagai perjalanan Rasulullah SAW di waktu malam dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsha (Palestina). Mi’raj menurut bahasa Arab artinya tangga untuk dinaiki, sedangkan menurut istilah, mi’raj adalah perjalanan Rasulullah SAW dari Masjidil Aqsa ke langit tujuh sampai ke Arasy Allah." (Sumber: https://uici.ac.id/menyingkap-makna-isra-miraj-salah.../)

Cendekiawan terkenal Seyyed Hossein Nasr, dalam bukunya ‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993), menyatakan bahwa pengalaman ruhani yang dialami oleh Rasulullah SAW selama Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari salat yang dijalankan oleh umat Islam sehari-hari. Dengan kata lain, salat adalah mi’raj bagi orang-orang beriman. Oleh karena itu, ada beberapa tahapan dalam perjalanan Rasulullah SAW.

Isra Mi'raj dari Perspektif Mistisisme Jawa

Namun, bagi mereka yang skeptis dan kritis, pertanyaan muncul:

- Apakah langit benar-benar terdiri dari 7 lapisan?
- Apakah Allah (Tuhan Yang Maha Esa) benar-benar bersemayam di Arasy?
- Apa arti dari lapisan langit dan Arasy? Dapatkah manusia selain Nabi Muhammad mencapainya?
- Bagaimana kita dapat membuktikan keberadaan Arasy dan mengungkap misterinya?

Penting untuk memahami keistimewaan Isra Mi’raj dalam doktrin Islam. Biasanya, Nabi Muhammad menerima pesan, perintah, atau Firman Tuhan melalui malaikat Jibril. Namun, dalam peristiwa Isra Mi’raj, ada perintah langsung tanpa perantara karena Nabi Muhammad bertemu Allah secara langsung.

Jika kita melihat dari perspektif mistik yang berkembang di Nusantara, terminologi Isra ini memiliki padanan dalam "laku lelana," "kembara," atau "kelana" - sejalan dengan istilah "Tirta Yatra": perjalanan dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan pencerahan atau mengungkap misteri kebenaran sejati. Tempat-tempat yang disakralkan dan memiliki nilai historis dalam tradisi spiritual sering menjadi tujuannya. Misalnya, Prabu Airlangga yang menjadi Raja di Kahuripan (abad ke-10) dikenal sebagai pertapa pengembara sebelum menemukan jalan menuju tampuk kekuasaan politik. Bahkan setelah menjadi raja, ia sering melakukan kunjungan dengan tujuan spiritual. Karena itu, generasi masa kini mengenal petilasan dari para tokoh seperti Prabu Airlangga. Di zaman yang lebih modern, Bung Karno, selain sebagai negarawan, juga merupakan seorang spiritualis terampil, sangat populer dengan jejak pengembaraannya yang dihormati oleh pengagumnya.

Sebagai praktisi spiritual Jawa/Nusantara, saya secara pribadi sangat intensif melakukan pengembaraan spiritual. Sebelum mengalami pencerahan tahap pertama di penghujung 2018, sejak 2008 saya berkelana ke banyak tempat, mulai dari Gunung Tidar di Magelang hingga Alas Purwa di Banyuwangi, Pusuk Buhit di kawasan Toba Sumatera Utara hingga Hutan Loksado di Kalimantan Selatan. Sekitar 150 tempat sakral pernah saya jelajahi dalam kurun waktu itu. Pasca pencerahan tahap pertama, dalam rangka mencapai tahap berikutnya, saya berkelana lebih jauh: Singapura, Malaysia, Laos, Kamboja, Thailand, Vietnam, Myanmar, Hong Kong, hingga ke tanah Eropa. Dalam rentang 2019-2022, saya berkunjung ke banyak negara di Eropa: Italia, Perancis, Belanda, Belgia, Inggris, Skotlandia, Swiss, Jerman, Spanyol, Portugal, Monaco, Andorra, Luksemburg, Austria, Slovenia, Ceko, Yunani, Turki, Denmark, dan Finlandia. Kesemua perjalanan itu membuka rahasia tentang Suwung, Sastrajendra, Buddha, Tao, Tantra, Druid, Ahuramazda, dan lainnya. Hasil dari pengembaraan ini adalah ajaran yang saya sampaikan dalam ceramah dan buku-buku.

Jadi, apakah setiap orang bisa menjalankan Isra? Tentu, jika Isra dimaknai sebagai perjalanan fisik dengan tujuan spiritual, semua orang dapat melakukannya sesuai dengan kemampuan dan tekad masing-masing. Kemampuan berkelana tiap orang akan disesuaikan dengan daya dukung finansial dan kekuatan tekad yang dimilikinya. Namun, jika Isra harus dilakukan melalui teleportasi, tidak semua orang dapat melakukannya, bahkan saya sendiri belum pernah melakukannya.

Setelah saya semakin mahir dalam mempraktikkan keheningan, baik saat mengembara, di rumah, atau di kafe, saya dapat mengalami realitas yang sejalan dengan apa yang dimaksud oleh para pakar mistisisme Islam sebagai Mi’raj. Hening yang dimulai dengan relaksasi, berdasarkan pengalaman pribadi yang otentik, membawa kita pada berbagai pemahaman:

    Perjumpaan dengan Dewa Ruci. Dewa Ruci bukanlah realitas fisik, eksistensinya hanya bisa dikenali melalui Rasa Sejati. Dewa Ruci bersemayam di telenging manah atau relung hati. Ia sejalan dengan kata Diri Sejati, Sang Hyang Atman, Roh Kudus, yang sederhananya dapat dijelaskan sebagai realitas Tuhan yang hadir di dalam diri: Sang Penuntun Agung yang ada di tahta suci di relung hati setiap manusia. Seiring dengan intensitas kualitas hening yang berjalan seiring dengan pemurnian jiwa, perjumpaan ini dapat terjadi lebih sering. Setidaknya, kita menjadi lebih intensif mendapatkan tuntunan agung, titah, atau Sabda yang menuntun pada keselamatan dan mengurai rahasia kehidupan, yang sejalan dengan Firman/Wahyu dari Tuhan. Jadi, bagi mistikus Jawa/Nusantara, berkomunikasi dengan Tuhan bukanlah hal yang aneh. Sebagaimana berkomunikasi dengan malaikat, dewa-dewi, leluhur, dan segala entitas metafisik di jagad raya ini bukanlah hal yang aneh.

    Namun, sejauh pengetahuan saya, tidak ada Mistikus Jawa/Nusantara yang benar-benar tercerahkan, menyatakan bahwa ada sosok Tuhan yang terpisah dari keberadaan manusia dan ada nun jauh di sana, dan dianggap bertahta di satu tempat di langit lapis ketujuh. Tak ada juga manusia tercerahkan di Jawa/Nusantara yang memaknai langit seperti dalam konteks perbincangan sehari-hari sebagai batas cakrawala pandang manusia, atau dalam konteks sains: lapisan-lapisan atmosfer yang membentang di ruang angkasa yang membawa manusia berjumpa dengan planet dan galaksi lain. Faktanya, tak ada satupun astronot yang mengaku berjumpa dengan Tuhan di luar angkasa sana.

Siapapun yang menyelami realitas Tuhan dalam keheningan, setelah mengalami realitas Dewa Ruci sebagai Sang Penuntun Agung, akan menyaksikan realitas Tuhan sebagai kecerdasan tertinggi di Jagad Raya - yang jika dilihat, Ia dapat kita kenali sebagai Diri Semesta yang bersemayam di pusat jagad raya, namun tetaplah Ia tidak terpisah dari diri kita. Ia kita saksikan saat kita terus menyelami relung hati kita; keberadaanNya sebenarnya tidak pernah terpisahkan dari jiwa kita; jiwa kita diliputi oleh keberadaanNya.

Perjalanan spiritual yang lebih jauh akan membawa kita menyaksikan realitas yang meliputi segalanya yang menjadi sumber segala yang ada: Keberadaan yang dijelaskan sebagai Suwung, yang dariNya memancar kasih murni dan energi hidup yang meliputi segala yang ada. Kita semua ada di dalam samudra kasih murni dan energi hidup yang tak terbatas, kita tidak pernah terpisahkan dariNya.

Jika bicara tentang langit dalam konteks spiritual, tidak ada keterbatasan pada 7 lapisan. Jika merujuk pada matriks realitas di jagad raya ini yang menjelaskan ragam eksistensi berdasarkan frekuensi vibrasi energi, setidaknya dinyatakan ada 31 dimensi. Jika langit yang dimaksud adalah realitas luhur tempat kita dapat menjumpai hapsara-hapsari, dewa-dewi, mahadewa-mahadewi, malaikat, juga Adhi Buddha, itu merujuk ke alam cahaya di atas: Dimensi 12 hingga 31. Namun, hal ini tidak berarti bahwa Tuhan hanya berada di dimensi 31 karena Ia meliputi segalanya, termasuk Dimensi 1 dan 2 yang kita kenal sebagai Neraka. Tidak ada eksistensi atau koordinat ruang dan waktu yang terpisah dariNya.

Pengalaman menyaksikan seluruh realitas yang saya ceritakan ini dapat dicapai oleh siapapun, oleh manusia dari berbagai suku dan ras di berbagai generasi, asalkan memenuhi syarat: dapat berhening paripurna, memiliki jiwa yang murni, dan dapat memanfaatkan Rasa Sejati. Ini bukan hak eksklusif hanya bagi satu individu. Inilah pandangan seorang mistikus Nusantara yang berusaha jujur.

Baca Juga:

Print Friendly and PDF

0 Response to "Isra Mi'raj dari Perspektif Mistisisme Jawa"

Posting Komentar